“Kami telah mengetahui selama beberapa waktu bahwa medan magnet Bumi telah berubah, tetapi kami tidak benar-benar tahu apakah ini tidak biasa untuk wilayah ini pada skala waktu yang lebih lama atau apakah itu normal,” ungkap Vincent Hare, fisikawan dari University of Rochester dilansir dari Science Alert, Kamis (27/12).
Salah satu alasan mengapa para ilmuwan tidak tahu banyak tentang sejarah magnetik wilayah Bumi ini adalah karena tidak memiliki apa yang disebut data arkeomagnetik. Data itu merupakan bukti fisik magnetisme di masa lalu Bumi, yang tersimpan dalam peninggalan arkeologis dari zaman lampau.
Ritual Kebudayaan
Sebuah peninggalan masa silam semacam itu milik sekelompok orang Afrika kuno, yang tinggal di Lembah Sungai Limpopo – berbatasan dengan Zimbabwe, Afrika Selatan, dan Botswana.
Wilayah ini termasuk dalam Anomali Atlantik Selatan. Sekitar 1.000 tahun yang lalu, di wilayah itu, orang-orang Bantu menjalankan ritual takhayul yang rumit di masa-masa sulit seperti kekeringan.
Selama masa kekeringan, mereka akan membakar gubuk-gubuk tanah liat dan tempat biji-bijian, dalam upacara pembersihan suci untuk membuat hujan datang lagi. Ritual ini kemudian menjadi bahan kajian para ilmuwan saat ini.
“Ketika Anda membakar tanah liat pada suhu yang sangat tinggi, Anda benar-benar menstabilkan mineral magnetik, dan ketika mereka mendinginkan dari suhu yang sangat tinggi ini, mereka mengunci catatan medan magnet bumi,” kata ahli geofisika John Tarduno yang termasuk dalam tim peneliti.
Dengan demikian, analisis artefak kuno yang selamat dari pembakaran ini mengungkapkan lebih dari sekadar praktik budaya nenek moyang orang Afrika Selatan. “Kami mencari perilaku berulang anomali karena kami pikir itulah yang terjadi hari ini dan menyebabkan Anomali Atlantik Selatan,” tandas Tarduno.