Beritaini.com – Kepala daerah merupakan pemimpin di daerah baik pada tataran pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi. Sebagai pemimpin di daerah sepatutnya dalam setiap tindak tanduk dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari harus mencerminkan bahwa ia seorang pemimpin di daerah yang menjadi panutan dan pemberi contoh yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat fitrah baik dipandang dari sisi agama, negara maupun hak asasi manusia (HAM). Setiap warga negara maupun pejabat berhak untuk menikah kapan dan dengan siapa saja sesuai dengan pilihannya masing-masing, termasuk dalam melakukan nikah siri dan poligami.
Aturan agama memberikan ruang untuk umatnya dalam melangsungkan nikah siri dan poligami sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi sehingga apabila syarat dan rukunnya terpenuhi maka dalam pandangan agama pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sah hukumnya.
Kebebasan dalam melakukan nikah siri yang disandarkan pada syarat dan rukun yang diatur oleh agama dalam Kenyataannya berbeda dengan regulasi yang diatur oleh negara.
Dalam pandangan agama, nikah siri adalah sah apabila memenuhi syarat dan rukun perkawinan, namun dalam hukum negara yaitu Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (undang-undang perkawinan) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu dengan mendaftarkan setiap perkawinan agar dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Persoalannya menjadi dilematis ketika yang melakukan nikah siri adalah seorang kepala daerah karena melakukan suatu perbuatan yang tidak selaras dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Sebuah penelitian tentang bagaimana pemakzulan kepala daerah yang melakukan nikah siri berdasarkan Pasal 67 B Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal tersebut menyatakan bahwa Kepala Daerah wajib menaati semua peraturan perundang-undangan dan berkorelasi dengan pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, sehingga seorang kepala daerah yang melakukan pernikahan siri dapat dilakukan pemakzulan karena melakukan pelanggaran hukum.
Penelitian ini berjudul ‘PEMAKZULAN KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN NIKAH SIRI BERDASARKAN PASAL 67B UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH’ oleh Budimansyah di Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak.
Jenis penelitian Budimansyah, normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan Perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif.
Sumber: neliti.com