HukumMamuju

3 Lagi Tersangka Alih Fungsi Lahan Tadui, Kejati Sulbar Tahan Kepala BPN Majene

×

3 Lagi Tersangka Alih Fungsi Lahan Tadui, Kejati Sulbar Tahan Kepala BPN Majene

Sebarkan artikel ini

Mamuju, Beritaini.com – Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejati Sulbar, menetapkan lagi 3 orang tersangka dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Pengalihan Hak pada Hutan Negara dengan Fungsi Lindung di Desa Tadui Kabupaten Mamuju, Senin 1 Agustus 2024.

Sebelumnya dalam perkara yang sama, Kejati Sulbar juga telah menetapkan 3 orang tersangka, satu diantaranya adalah wakil ketua DPRD Mamuju, Andi Dodi Hermawan.

Ketiga tersangka kali ini yakni, IM pegawai BPN Mamuju tahun 2017 (ASN Kanwil Pertanahan), MN pegawai BPN Mamuju tahun 2017 (Kepala BPN Majene) dan MU pegawai BPN Mamuju 2017 (pensiun).

Para tersangka akan dilakukan penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Nomor: PRINT – 553/ P.6.5/ Fd.2/ 08/ 2022, PRINT – 554/ P.6.5/ Fd.2/ 08/ 2022, PRINT – 555/ P.6.5/ Fd.2/ 08/ 2022, tanggal 1 Agustus 2022 di Rutan Klas IIB Mamuju, selama 20 hari terhitung mulai hari ini.

Penahanan tersebut dilakukan dengan pertimbangan;

Alasan Objektif, pasal yang disangkakan kepada Para Tersangka adalah Pasal yang ancaman hukumannya di atas 5 (lima) tahun vide Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP.
Alasan Subyektif, adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri dan merusak atau menghilangkan barang bukti, serta mempengaruhi saksi-saksi lainnya
Berkas Perkara Tersangka telah dalam tahap penyusunan, sehingga proses penanganannya akan cepat selesai.

Baca juga:  Penandatanganan PKS Kejati Sulbar dan BNI Mamuju

Adapun kasus posisi perkara ini, sebagai berikut:
Bahwa pada tahun 2016, ADH membeli lahan dalam Kawasan Hutan Lindung yang terletak di Desa Tadui dengan maksud akan membangun usaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Atas permintaan ADH, Kepala Desa Tadui SB untuk menerbitkan Sporadik yang statusnya dicantumkan sebagai tanah negara bebas, padahal diketahui lokasi tersebut adalah kawasan hutan.

Berdasarkan sporadik tersebut, ADH mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat kepada Kepala BPN Mamuju HN. Selanjutnya TIM A (Pemeriksa Tanah) tahun 2017 yang diangkat oleh HN ditugaskan untuk memberikan rekomendasi persyaratan diterbitkannya status kepemilikan, yang Timnya beranggotakan MI, MN dan MU serta
SB (tersangka sebelumnya).

TIM A tidak melaksanakan tugasnya mengadakan penelitian dan pengkajian mengenai status tanah, apakah masuk dalam kawasan hutan atau tidak, padahal diketahui bahwa yang dapat menggugurkan permohonan untuk penerbitan sertifikat tanah adalah salah satunya merupakan Kawasan hutan lindung.

Berdasarkan rekomendasi TIM A, Kepala BPN Mamuju HN menyetujui penerbitan status kepemilikan permohonan ADH, tanpa berkoordinasi atau meminta informasi dari Dinas Kehutanan atau instansi berwenang lainnya, dan selanjutnya pada tanggal 23 Maret 2017, menerbitkan SHM No. 611 seluas 10.370 M2, atas nama IP (istri ADH).

Baca juga:  Sambangi Kejati Sulbar, Pj Gubernur dan Kajati Jajaki Kerjasama Perdata dan TUN

Bahwa pada tahun 2019, diatas lahan SHM No. 611 tersebut, ADH membangun SPBU. ADH mendapatkan kepastian informasi tentang kawasan hutan dari Notaris, namun ADH sampai saat ini tidak menggubris adanya pengeluaran luasan tersebut, SPBU tetap dibangun dan dikelola sampai saat ini, bahkan di atas lahan tersebut juga dibangun fasilitas penunjang seperti rumah makan dan bangunan yang kemudian disewakan sebagian lahannya untuk minimarket (Indomart).

Bahwa atas penguasaan tanah dalam kawasan hutan lindung tersebut, negara dirugikan senilai Rp. 2.817.137.263 (dua miliar delapan ratus tujuh belas juta seratus tiga puluh tujuh ribu dua ratus enam puluh tiga rupiah), serta ADH mengambil keuntungan yaitu berupa penguasaan lahan kawasan hutan, harga sewa bangunan gedung untuk indomart dan usaha rumah makan yang dibangun di atas lahan tersebut.

Pasal yang disangkakan Pasal 2 ayat (1) subs Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara, dan denda maksimal Rp1 miliar.

(Kapenkum Kejati Sulbar)