Jakarta.beritaini.com-Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyikapi dengan tegas terkait dugaan terjadinya kekerasan di sekolah yang menimpa GNS, seorang siswi sekolah dasar (SD) swasta yang dihukum push-up 100 kali oleh pihak sekolah, karena belum melunasi uang sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP.
Dalam keterangan tertulisnya, Komisioner KPAI Bid Pendidikan Retno Listyarti menyebutkan, hukuman itu disebakan lantaran orangtua GNS tak punya biaya sehingga belum melunasi biaya pendidikan.
Akibatnya, GNS (10) trauma berat hingga tidak mau lagi datang ke sekolah.
Menurut Retno, apa yang dilakukan oleh pihak sekolah terhadap para siswa yang orangtuanya belum melunasi uang SPP adalah bentuk kekerasan terhadap anak.
Masalah tersebut menurut Retno bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan fisik dan psikis, berpotensi kuat melanggar pasal 76C UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Apalagi ujar Retno, jika push up dilakukan berpuluh kali, tanpa mempertimbangkan kondisi anak, maka itu berpotensi menyakiti dan membahayakan anak tersebut.
” Ini masuk kategori kekerasan fisik,” ujar Retno Listyarti kepada beritaini.com.
Selain itu, kata Retno anak juga tertekan karena merasa direndahkan dan dipermalukan dilingkungan sekolah, apalagi didepan banyak temannya atau gurunya yang tahu kalau orangtuanya belum bisa melunasi uang SPP.
Retno menilai bahwa hal ini merupakan bentuk kekerasn psikis. Jadi sepatutntya, jika ada anak yang belum bayar SPP, maka sekolah tidak berhak melakukan semua itu.
“Anak harus tetap mendapatkan haknya atas pendidikan, seperti mengikuti pembelajaran, ujian, dll,” kata Retno.
Dalam pandangan KPAI, jika orang tua belum melunasi SPP, maka itu bukan salah si anak, tetapi itu kewajiban orangtuanya.
“Yang harus dipanggil, ditegur dan disurati pihak sekolah adalah orangtuanya,” katanya.
Kendati menurut Retno ada perjanjian antara ortu siswa dengan pihak sekolah saat mendaftar sekolah di tempat tersebut, maka perjanjian itu juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.
Sekolah menurutnya bisa berkomunikasi langsung dengan para ortu siswa, bukan siswanya yang ditekan dan diperlakukan seperti itu.
Seharusnya sambung Retno, sekolah dapat membantu mencari solusi bagi pemenuhan hak atas pendidikan terhadap para siswanya yang orangtuanya kurang mampu secara ekonomi.
Jika ternyata orangtua siswa tersebut tidak bisa melunasi uang SPP beberapa bulan karena ketidakmampuannya, maka hal ini harus dibicarakan baik-baik.
Sekolah juga lanjut Retno bisa berkoordinasi dengan pengawas sekolah dan Dinas Pendidikan setempat agar ada jalan keluar, misalnya membantu memindahkan sang anak ke sekolah negeri terdekat, karena sekolah negeri untuk SD gratis, berbeda dengan pihak sekolah swasta yang memang operasional sekolah sangat tergantung dengan uang bayaran siswanya sehingga berbiaya.
Retno menambahkan, pihak sekolah juga bisa berkomunikasi dengan para orangtua lainnya melalui komite sekolah sehingga bisa dicarikan solusi, misalnya dengan mencarikan orangtua asuh atau bantuan beberapa orangtua yang mampu melalui program subsidi silang untuk siswa yang orangtuanya kurang mampu secara ekonomi.(rils)