Para kritikus terus mengkritisi bahwa pemerintah yang seharusnya memberikan informasi yang obyektif jika terjadi krisis dan bersikap netral untuk meminimalisir kerancuan sosial, justru menunjukkan niat politik dengan bias agama dan menyalahkan penyebaran virus ini pada satu organisasi.
Organisasi Masyarakat dan LSM Mengambil Tindakan
Pada tanggal 28 Februari, beberapa LSM di Eropa mengeluarkan pernyataan bersama berjudul “Coronavirus dan Shincheonji: Menghentikan Perburuan Penyihir” (Coronavirus and Shincheonji: Stopping the Witch Hunt), bahwa saat ini COVID-19 di Korea Selatan telah menjadi sasaran kebencian dan krisis hak asasi manusia sejak kasus pasien ke-31 yang telah dikonfirmasi berasal dari anggota Shincheonji.
LSM yang berpartisipasi meliputi CESNUR (Center for Studies on New Religions), ORLIR (International Observatory of Religious Liberty of Refugees), FOB (European Federaon for Freedom of Belief), CAP-LC (Co-ordination of Associations and Persons for Freedom of Conscience), EIFRF (European Inter-religious Forum for Religious Freedom), FOREF (Forum for Religious Freedom Europe), LIREC (Center for Studies on Freedom of Belief, Religion, and Conscience), HRWF (Human Rights Without Frontiers), dan Soteria International.
Dalam pernyataan tersebut dinyatakan bahwa, “Beberapa politisi Korea Selatan mengkambinghitamkan Shincheonji atas terjadinya epidemi virus, mungkin untuk menghindari tuduhan terhadap kesalahan mereka sendiri dalam mengatasi krisis”, dan “daftar anggota Shincheonji yang diberikan kepada pihak berwenang telah bocor sebagian, mengakibatkan anggota Shincheonji dihina dan dipukuli di depan umum, dan beberapa dari mereka telah dipecat dari pekerjaan mereka.”
Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Selatan
Beberapa lembaga pemerintah di Korea Selatan menjadi instansi pertama yang mengidentifikasi apakah ada pejabat mereka yang merupakan anggota Shincheonji.
Departemen Kehakiman menginstruksikan penyelidikan skala nasional atas pegawai pemerintah di fasilitas pemasyarakatan untuk melaporkan apakah mereka atau keluarga mereka adalah anggota Shincheonji.
Pada tanggal 26 Februari, seorang anggota perempuan Shincheonji dari Ulsan terjatuh hingga meninggal akibat dari kekerasan rumah tangga karena keyakinannya. Suaminya mengaku bahwa dia menyerang istrinya selama berbulan-bulan karena masalah agama.
Pada hari kecelakaan itu, telah dilaporkan bahwa perempuan tersebut kembali dianiaya oleh suaminya karena suaminya memaksa dia untuk melepaskan keyakinannya.
Pada tanggal 10 Maret, satu lagi kematian seorang anggota Shincheonji dilaporkan di Jungeup. Provinsi Jeolla Utara. Saat media dipenuhi dengan berita palsu mengenai Shincheonii karena COVID-19, meningkatnya tindakan penganiayaan dari suaminya mengakibatkan seorang wanita lain jatuh hingga meninggal dunia dari apartemennya.
Pada kasus pasien ke-31 yaitu anggota pertama Shincheonji yang terkonfirmasi positif virus, berita palsu yang memberitakan bahwa pasien ke-31 tersebut mengganggu pekerjaan rumah sakit dengan berkelahi dengan perawat dan informasi pribadinya telah tersebar luas melalui berbagai media online.
Departemen Kepolisian Daerah Daegu menyatakan bahwa berita mengenai tindakan melawan tenaga medis itu tidak benar.(NYTimes.com)