Jakarta, Beritaini.com – Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya diharapkan bisa melahirkan regulasi yang mampu menangkal kelompok ‘kecil’ seperti Saracen yang belakangan ini begitu menghebohkan publik.
Jika Jokowi tidak mampu menangkal hal itu. Dikhawatirkan bakal muncul Saracen lainnya yang bisa memecah persatuan bangsa.
Demikian dikatakan Junisab Akbar, Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) saat diajak ‘melirik’ dunia digital akibat heboh Saracen oleh Witanto Sekjen Ikatan Wartawan Online (IWO), Minggu (03/09).
Dikatanya, tidak dapat dipungkiri, peradaban saat ini melesat bagai lontaran meteor yang mungkin saja berhenti pada titik nadir digital itu sendiri. Atau bisa jadi, lompatannya langsung ke media hologram.
“Artinya, kita tidak dapat memprediksi kapan yang biasa disebut online itu akan berhenti. Hanya saja, dengan memberikan rambu-rambu agar pengguna tidak merusak manusia dan lingkungan bisa menjadi penyeimbang,” katanya.
Hal itu terjadi menurut Junisab, karena teknologi digital tidak dibatasi ruang dan waktu, sehingga ‘mengharuskan’ manusia hanya jadi pengikut (follower).
Secara panjang lebar Junisab mengatakan, berbeda dengan peradaban masa konvensional, dimana kita selalu dapat ‘sejajar’ dengannya. Digital itu berbanding terbalik.
“Mari kita analisa, belajar dari kasus kelompok Saracen, itu sebenarnya bukan semata-mata akibat dari mudahnya muncul ‘kreatifitas’ group tersebut. Bukan. Karena, ternyata kalau kita pelajari justru ada pengaruh awal dari kelemahan negara yang ternyata tidak mempersiapkan bimbingan dan atau rambu-rambu yang mengatur para pengguna pemula digital secara tegas dan berkala,” ujarnya.
Contoh kecil, menurutnya, mana pernah ada bentuk-bentuk warning yang dilakukan pemerintah bersama penyedia aplikasi atau program medsos saat mengakses layaknya seperti peringatan yang dilakukan oleh pengelola online porno.
“Forensik ITE plus juga harus transparan meski tetap mengedepankan aturan detail mengenai hal tersebut lewat informasi keterbukaan publik”.
Meski kita memiliki Lembaga Sandi Negara yang melek IT, namun sangat disayangkan lebih banyak memberdayakan tenaga outsourcing, laiknya Kominfo yang juga banyak merekrut tenaga outsourcing IT sebagai lembaga defense negara.
“Selayaknya para IT yang ahli untuk dilembagakan. Bukan asal comot,” tegasnya.
Walaupun ada regulasi seperti undang-undang ITE, itu ternyata bukan aturan sesungguhnya yang pas dengan peradaban sekarang.
Faktanya, group yang beraktivitas seperti Saracen tidak satu. Group tersebut banyak dan tumbuh tanpa bisa direm. Itu juga yang membuktikan bahwa negara harus bisa mencari formulasi yang tidak sekonvensional ITE. Negara harus bisa.
Akibatnya, sekarang timbul multitafsir. Timbul saling curiga ditengah rakyat. Presiden Joko Widodo sampai terlihat heboh. Entah kenapa. Polisi sampai harus rajin patroli cyber.
BUMERANG
Makna dari semua itu maka negara harus menemukan model yang selaras atau yang bisa berdampingan dengan teknologi digital yang seketika itu juga bisa mewarning dan sekaligus menghalangi para pengguna digital ketika terdeteksi melanggar peraturan.
Dari kasus Saracen, terlihat Presiden Jokowi memberikan respon yang bersifat konvensional setara dengan “pemadam kebakaran”. Model seperti itu harus ditinggalkan, jangan dipelihara.
Disisi lain, media khususnya media online juga dengan keras memberi respon anti terhadap ‘produk-produk’ Saracen. Sikap itu sama saja dengan Jokowi.
Kalau kami analisa, jika respon Presiden dan media online seperti model itu maka dipastikan mereka tidak akan pernah bisa mengiringi kemajuan digital di Indonesia. Itu malah bisa jadi pemicu lahir Saracen bermodus baru. Malah bisa jadi bumerang.
Apalagi lanjut Junisab, jika Presiden tidak kuat menggandeng media online maka cenderung akan mubazir seluruh hal baik yang sudah dimulai Jokowi. Malah, bisa jadi kelompok Saracen yang tidak tercium aparat hukum akan ‘bertelur’ ke dalam bentuk lain dengan produk yang lebih membahayakan dari seperti yang diduga Jokowi.
“Kesimpulan kami, di era digital menyambut masa hologram diperlukan tata aturan yang tidak menakut-nakuti semata tanpa bisa menyadarkan calon pelaku baru,” tutup mantan anggota Komisi III DPR RI itu.
Detikom melansir, Penyebaran hoax umumnya mempunyai 3 pola yaitu pertama, informasi yang disebarkan memanfaatkan kekisruhan opini publik hingga mudah mendapatkan perhatian masyarakat. Kedua, hoax umumnya memakai referensi pada orang yang dikenal publik kendati kerapkali informasi itu dipelintir, dipotong dan difabrikasi. Ketiga, penyebar hoax bergerak dalam sindikasi dengan menyebarluaskan informasi melalui berbagai media sosial.
Ketiga pola itu kemungkinan besar dilakukan oleh sindikat Saracen. Selain itu, dapat diestimasikan Saracen terinspirasi pendapat Goebbels. Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada masa Adolf Hitler pernah berkata, “Kebohongan yang diulang berkali-kali akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat.”
Menurut saya, fenomena kelompok Saracen ini adalah fenomena yang kompleks dan berdampak sangat luas, dan jelas menggambarkan bagaimana Indonesia masih memiliki kerentanan yang besar terhadap terjadinya kejahatan siber. Jika kerentanan ini gagal diatasi maka masa depan Indonesia akan terganggu, sebab perekonomian ke depan akan ditopang oleh apa yang disebut “viral market” melalui e-commerce yang jelas-jelas membutuhkan ketangguhan negara di bidang keamanan siber.(**)