Ragam

Narasi Kehidupan di Kaki Langit

×

Narasi Kehidupan di Kaki Langit

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mursalim Majid

Wajahnya menengadah kelangit sembari kedua tangannya diangkat, doa-doa itu mengalir dari mulut pria paru baya. ” Ya Allah beri aku rezkimu, lindungi aku dari api neraka dan beri aku kesabaran dalam cobaanmu ini ya Allah,” bisik Kacolong dalam hati.

Di pinggiran desa kecil itu Kacolong menjalani hidup sehari – hari sebagai nelayan. Rumah seadanya yang tak laik disebut rumah. Sewaktu – waktu gubuk tersebut tersapu oleh gelombang laut.

Hingga tak ada lagi tempat berteduh bagi keluarga kecil ini. Ia ditemani 2 orang anaknya sedangkan sang istri sudah lama tiada.

” Pua meloa maalli baju passikola (mauka beli seragam sekolah) ,” kata si Cicci anak pertamanya. Ia berbicara dengan bahasa mandar.

Suara gemuruh ombak nyaring terdengar di telinga. Sesekali lidah ombak itu menyentuh dinding dapur rumahnya. Hanya hitungan menit saja jika musim ombak tiba. Habislah gubuk itu.

Tangan si Kacolong yang masih perkasa mengikat tali perahu kecil milknya kebatang pohon kayu. Perahu itu bantuan warga di kampungnya.

Anak semata wayangnya berlari kecil bertelanjang dada. Bermain pasir dengan teman sebayanya. Membentuk gundukan pasir menyerupai gunung. Ombakpun tiba dan menyapu bersih gundukan pasir itu. ” Hore .. hore,” teriak sumi kegirangan sambil melompat – lombat. Ia paling bungsu dari 2 bersaudara

Kakinya yang mungil telanjan itu. Terlihat dalam jejak tapak kaki disetiap pasir yang diinjaknya.

Baca juga:  Deh Toanamo..!, Temu Alumni SD Inpres Kassi-kassi 88

Sumi kecil hanya ditemani sang kakak. Saat sang ayah pergi melaut mencari ikan. Ia menyiapkan sarapan sang adik. Menyuapinya sebelum berangkat kesekolah.

Berjalan kaki menuju sekolah tiap pagi. Sumipun dititip dirumah tetangga sembari menunggu sang ayah tiba melaut.

Begitulah silklus kehidupan mereka. Mengarungi hidup seadanya. Ditengah himpitan ekonomi hanya suara gemuruh ombak yang terdengar.

” Pole.. pole pua,” teriak Sumi kegirangan sambil berlari – lari kecil mendekati sang Ayah yang baru saja tiba melaut.

Di tambatkannya perahu kecil itu ke batang pohon kayu. Lalu, perlahan tangannya mengambil beberapa ekor ikan hasil tangkapannya.

Lalu di jual kepada pedagang ikan yang dari tadi menunggunya di bibir pantai. Uang kertas puluhan ribu terlihat lusuh. Sebenarnya hasil tangkapan si Kacolong tak sebanding dengan taruhan nyawa setiap hari.

Foto : Ilustrasi

Demi kedua si buah hatinya. Ia rela bertaru nyawa mengaurungi gelombang laut setiap hari.

Tak ada pilihan lain, kecuali bekerja dan bekerja. Seiring berdetaknya sang waktu menapaki hari – harinya yang mulai senja.

Tuntutan ekonomi dan menyekolakan sang buah hatinya adalah satu tuntutan hidup dan tanggungjawab sebagai ayah tak bisa ditawar – tawar lagi.

Malam mulai turun menyelimuti rumah beralas tanah bercampur pasir. Temaran cahaya pelita meliuk – liuk ditiup sepoi angin menyelinap didinding gubuk bambu itu.

” Ini budi, ini ibu budi. Ibu pergi kepasar,” begitu mulut Cicci mengeja huruf demi hurup dibawah temaran cahaya pelita itu.

Baca juga:  Ngopi Bareng, ABM Bicara Apa Adanya

Si Cicci belajar bahasa indonesia yang dipelajarinya di sekolah. Belajar sendiri ditengah minimnya fasilitas. Tak ada alasan untuk tidak belajar. Sebab sekolah bukanlah hanya milik orang kaya saja.

Buku – buku lusuh dan koran bekas menumpuk di dinding yang mulai lapuk itu. Sementa si bungsu tengah tertidur pulas di atas tikar seadanya.

Kacolongpun tak dapat menahan haru menatap kedua sang buah hatinya. Lelaki paru baya itu hanya bisa mengelus dada.

Matanya mulai sembab bayangan temarang mengelus ke dua kelopak matanya. Pelan punggung telapak tangannya mulai mengusap butiran air mata. Jatuh di kedua pipihnya yang sudah keriput itu. Tangannya yang dulu perkasa kini mulai layu.

” Ya Allah tabahkan hati kami dalam mengarungi kehidupan ini,” bisiknya dalam hati.

Hening, suara gemuruh ombak masih terdengar diluar sana. Saling berkejaran meninju jantung waktu.

Lamat – lamat suara Adzan subuh berkomandang memecah sunyi. Kacolong terbangun dan mulai mengambil air wudu di belakang rumah. Terdengar suara gesekan timba kecil dari ember kecil yang sudah disiapkan.

Tak ada air ledeng. Kacolong rela berjalan kaki mengambil air bersih milik pemerintah desa.

Ia langkahkan kakinya ke masjid. Hingga bayangan tubuhnya lenyap di telan subuh.(*)

Artikel ini non fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan saja.