Oleh: Andi Rahmat
Hanya beberapa waktu setelah dilantik menggantikan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa langsung tancap gas. Dari paparannya di Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, jelas sekali Menteri Keuangan yang baru ini memilih kebijakan yang cukup berbeda dengan Menteri Keuangan yang digantikannya.
Sri Mulyani cenderung menjalankan kebijakan yang konservatif, memilih menyeimbangkan postur makro ekonomi yang sering disebutnya sebagai kebijakan “Prudent”, sangat perhatian pada kesinambungan fiskal dengan perhatian detail kepada manajemen arus kas pemerintah.
Pendekatan-pendekatan ala Sri Mulyani ini cukup ampuh dalam menavigasi perekonomian nasional dalam dua kali masa krisis, krisis 2008 dan krisis masa pandemi covid-19.
Namun pendekatan kebijakan ini juga menyisakan banyak lubang kritik. Diantaranya, kebijakan ini tidak cukup kuat mengangkat pertumbuhan ekonomi, yang diistilahkan oleh Purbaya Sadewa sebagai “mencekik” potensi pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan Sri Mulyani nampaknya dibayang-banyangi oleh pengalamannya dalam tiga dekade terakhir dimana perekonomian Indonesia sejak 1997 selalu dibayang-bayangi oleh ancaman krisis. Sri Mulyani, dalam banyak kesempatan, memang selalu menekankan pentingnya menjaga keseimbangan Fundamental ekonomi, ketimbang mengambil kebijakan beresiko tinggi, kendati kebijakan terebut memiliki kemungkinan potensial untuk mengungkit performa ekonomi.
Purbaya Sadewa nampaknya telah memutuskan untuk mengambil jalan berbeda. Di tengah beratnya tekanan fiskal pemerintah yang terutama ditandai oleh tekanan pada performa penerimaan negara, tumpukan hutang dan perubahan mendasar kebijakan fiskal Presiden Prabowo. Purbaya Sadewa memilih mengambil risiko untuk melancarkan kebijakan ekonomi yang lebih ekspansif, demi mengejar target pertumbuhan 8% yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo.
Premis dasar kebijakan ekspansif Purbaya Sadewo nampaknya bersumber pada suatu keyakinan bahwa untuk mengatasi tekanan fiskal pemerintah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dengan sendirinya memperbaiki struktur penerimaan negara dan karenanya juga akan memampukan pemerintah untuk mengatasi belitan hutang negara.
Dari penjelasannya di Rapat Kerja dengan DPR RI, ia menggariskan pentingnya membanjiri perekonomian dengan likuiditas. Baginya, perekonomian tidak akan tumbuh sesuai potensinya jika perekonomian dibiarkan kering.
Itulah yang mendasari mengapa Ia kemudian memutuskan untuk mendorong BI memperluas pertumbuhan Uang Primer dengan melepas sebagian Uang Pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia.
Sebetulnya, Purbaya tidak menyendiri dalam melihat hal ini. Bank Indonesia juga mulai melihat adanya situasi yang sama dimana perekonomian memerlukan likuiditas segera untuk memicu pertumbuhan. Sebelum Purbaya menjadi Menteri Keuangan, Bank Indonesia sudah mulai melakukan kebijakan pelonggaran yang ekspansif. Mulai dari penurunan Suku Bunga BI hingga penurunan persentase Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Dua kebijakan yang tidak cukup dikatakan sebagai relaksasi, tetapi lebih pantas disebut sebagai kebijakan ekspansif ala otoritas moneter.
Uang Pemerintah yang disimpan di BI dialihkan kepada Perbankan. Pengalihan ini otomatis menimbulkan ekspansi moneter. Lazimnya, kebijakan ini dikhawatirkan menimbulkan Inflasi Moneter dan mengurangi kredibilitas nilai tukar. Tapi nampaknya, Menkeu Purbaya punya pemikiran tersendiri mengenai hal ini. Argumennya adalah ekspansi moneter ini tidak akan inflatoir di sisi permintaan (demand pull) dikarenakan besarnya gap antara inflasi riil dengan potensi pertumbuhan.
Argumen ini tidak melulu benar dikarenakan, sebagaimana yang sudah terbukti dalam rekam sejarah kebijakan ekonomi dibanyak tempat, ekspansi moneter secara inheren mengandung efek inflatoir yang kemunculannya bisa dalam waktu dekat dan bisa juga muncul secara bertahap dimasa datang. Namun pilihan kebijakan sudah diambil; Pertumbuhan ekonomi mesti jadi prioritas
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan koordinasi kebijakan dengan Bank Indonesia disisi pengelolaan moneter dan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disisi pengawasan perbankan bisa berjalan dengan baik. Sehingga kebijakan ini sekaligus juga bisa dimitigasi resikonya.
Dengan pengalihan ini, Perbankan kini memiliki likuiditas untuk membuatnya lebih leluasa bergerak.Kebijakan intervensi langsung ini bisa disebut sebagai stimulus ekonomi tanpa merubah postur fiskal pemerintah.
Bagi perbankan ini bisa menjadi berkah tapi juga dapat menjadi beban baru. Dapat menjadi beban baru dikarenakan sifat dari Uang Pemerintah yang dialihkan ini yang bertenor pendek dan sewaktu-waktu dibutuhkan pemerintah karena terikat dengan performa APBN.
Apalagi dalam pelepasannya, Menkeu Purbaya mewanti-wanti agar likuiditas baru ini tidak diserap balik oleh BI melalui SBI atau di tempatkan di instrumen keuangan jangka pendek lainnya. Perlu dicatat, pula, bahwa Dana Cadangan Pemerintah di BI itu juga memiliki imbal Hasil yang terikat dengan perkembangan SBI. Oleh karenanya, penempatan Uang Pemerintah atau Dana Cadangan Pemerintah di perbankan tentu juga akan memperhitungkan Imbal Hasilnya.
Seperti yang sudah kami sebutkan sebelumnya, BI yang mulai ekspansif yang dikombinasikan dengan pendekatan ekspansif Menkeu Purbaya menyebabkan perekonomian dibanjiri oleh likuiditas. Kombinasi penurunan BI Rate, GWM dan pelepasan Dana Cadangan pemerintah menginjeksi perekonomian dengan likuiditas mendekati Rp 500 Triliun. Jumlah yang cukup besar bagi perekonomian yang cenderung stagnan.
Kami menyarankan agar kombinasi kebijakan ini turut pula dibarengi dengan matriks kebijakan lanjutan yang memprioritaskan penguatan kelas menengah. Sebab, biasanya banjir likuiditas seringkali lebih memberi peluang kepada kelompok ekonomi kuat untuk berekspansi dan sedikit sekali memberi ruang bagi kelompok ekonomi menengah dan juga; kecil.
Penyebabnya bisa berupa “malasnya” perbankan dalam mengambil resiko dan kurangnya upaya untuk mensinkronkan peraturan perbankan yang lebih familiar dengan kelas menengah dan kecil.
Selain itu, agar “policy chanelling”nya juga efektif dalam memperkuat ekonomi di berbagai daerah yang juga mengalami tekanan berat. Menkeu Purbaya memerlukan koordinasi dan pelibatan erat pemangku kepentingan ekonomi diberbagai daerah. Ekspansi Fiskal semestinya juga merangkul dan memperkuat fundamental fiskal daerah, dan bukan sebaliknya, mencekik perekonomian daerah.
Pemotongan Dana Transfer Daerah sampai 29% Perlu ditinjau ulang. Siklus ekonomi daerah-daerah memerlukan penormalan. Metode kebijakannya bisa berubah, tapi esensi penguatan ekonomi lokal tidak bisa diabaikan. Itu terlalu sangat penting untuk tidak diperhatikan serius.
Jalan yang ditempuh Menkeu Purbaya ini bukan jalan yang mudah. Dia tidak sedang mewarisi keadaan ekonomi yang sedang baik-baik saja. Terutama disisi Fiskal Pemerintah. Tanda-tanda pelambatan Ekonomi membayang-bayangi keadaan perekonomian nasional. Keberaniannya
Untuk memilih kebijakan yang tidak konvensional patut diapresiasi namun juga perlu untuk terus dikritik, Wallahu’alam.
Penulis: Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Anggota DPR RI Periode 2004-2009/2009-2014