Opini

“Pasang Tanduk”, Seteru Disdik Sul-Sel dan Kemendikbud

×

“Pasang Tanduk”, Seteru Disdik Sul-Sel dan Kemendikbud

Sebarkan artikel ini

Uji kompetensi guru telah memberikan gambaran tentang bagaimana kemampuan guru Indonesia. Hasil ini sesungguhnya tidak mengherankan karena selama ini upaya peningkatan kemampuan guru memang jalan ditempat.

Selama orde baru organisasi guru mana yang melakukan upaya peningkatan kompetensi guru?

Organisasi guru hanya sibuk dengan iuran anggota, klaim kesuksesan perjuangan mengubah kebijakan dan sedikit porseni.

Bahkan setelah reformasi, lahirnya beberapa organisais guru juga tidak banyak mengubah kompetensi guru. Bahkan disaat lahirnya sebuah organisais guru yang mengkhususkan diri pada upaya peningkatan kompetensi guru, organisasi guru lainnya malah sibuk menghalang-halangi, sibuk menggagalkan segala upaya peningkatan mutu guru yang dilakukan.

Sementara itu, pemerintah juga gagal meningkatkan kompetensi guru, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Perseteruan Dinas Pendidikan Sulsel bahkan pemprov Sulsel dengan Kemendikbud harusnya dijadikan media introspeksi diri kedua belah pihak. Terutama soal pelatihan guru untuk peningkatan kompetensi.

Seorang kawan saya di Ambon, seorang lagi di Banjar dan juga beberapa kawan lainnya memiliki Kartu Platinum Garuda Indonesia. Mengapa saya membahas kartu platinum?

Bapak ibu coba membayangkan, berapa penerbangan harus ditempuh dengan pesawat garuda Indonesia dalam setahun untuk mendapatkan kartu platinum?

Dan semua penerbangan itu terjadi dalam upaya mengikuti pelatihan guru yang dilakukan kemendikbud dan unit-unit kerjanya. Suatu ketika seorang guru langsung menghadap kepala dinas karena dia mendapat email diundang kemendikbud mengikuti pelatihan di Jakarta, namanya sudah tertera dalam list daftar peserta. Tahukah bapak ibu sudah berapa kali dia mendapatkan hal sama?

Berulang-ulang kali bahkan hingga mendapatkan kartu platinum garuda Indonesia.

Bapak ibu bisa membayangkan, jika seorang guru sampai mendapatkan kartu platinum garuda maka berapa banyak guru yang tidak mendapatkan kesempatan sedikit pun untuk mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi.

Disinilah kemudian lahir istilah 4L yang merupakan singkatan dari Lu Lagi-Lu Lagi.

Ada pula istilah “guru spesialis pelatihan” dan dibanyak pelatihan yang dibuat kemendikbud, seringkali terjadi “reuni sesama guru pelatihan”

Suatu ketika, saya diberi kesempatan terlibat dalam bimtek block grant guru pembelajar, ternyata MGMP yang mengirimkan proposal tidak begitu banyak, bahkan hanya sedikit melampaui terget kemendikbud, bahkan saat itu hanya 1 MGMP dari DKI Jakarta yang masuk. Kami melihat birokrasi pemda pun kurang sigap, informasi yang sampai di pemda kadang mengendap dan bisa kadaluarsa tanpa tindakan. Jadi mengapa pusat langsung kontak guru karena mereka gerah dengan birokrasi daerah yang tak terukur. Di daerah pun jika mengutus terkadang juga yang diutus adalah mereka yang dekat dengan api. Dengan birokrasi panjang di pemda dan dinas, bagaimana mungkin surat pemberitahuan tertanggal sehari sebelum kunjungan bisa dipastikan terbaca oleh Kadis apalagi Gubernur.

Baca juga:  TAHUN BARU DAN COVID 19

Kejadian ini terus menerus berlanjut hingga hari ini, sehingga jika kemudian terjadi “kekagetan” atas perpindahan SMA/SMK ke provinsi, ini menjadi hal wajar. Pemda merasa tak dianggap, kemendikbud pun merasa tak bisa berharap.

Serba mendadak menjadi sebuah kebiasaan dan saatnya melakukan intospeksi diri bahwa dikedua belah pihak sesungguhnya ada masalah.

Ketika Uji Kompetensi memberikan gambaran bahwa hanya ada 6,1 % guru dinyatakan lulus UKG dan tidak perlu mengulang UKG maka sesungguhnya itu adalah sesuatu yang wajar karena lebih dari 60% guru tak pernah mengecap kegiatan peningkatan kompetensi guru, lebih dari 80% mengikuti pelatihan tidak lebih dari 1 kali selama lima tahun dan lebih dari 90% guru tidak mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi lebih dari 1 kali dalam setahun.

Fakta ini setidaknya memberikan gambaran bahwa selama bertahun-tahun pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat telah gagal meningkatkan kompetensi guru, untuk itu, diperlukan cara baru meningkatkan kompetensi guru.

Pertama : Guru harus didorong untuk menjadi solusi dari masalah, bukan menjadi bagian dari masalah pendidikan

Kedua : Peningkatan kompetensi guru harus berupa gerakan, bukan program. Guru harus digerakkan untuk meningkatkan kemampuannya sendiri baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri.

Ketiga : Guru tidak boleh dibiarkan bergantung pada pemerintah untuk meningkatkan kompetensinya.

Keempat : Pemerintah harus menciptakan suasana kondusif yang dapat mendorong Organisasi guru bergerak untuk meningkatakan kompetensi anggotanya.

Kelima : pemerintah harus segera mengesahkan sebuah atau beberapa organisasi guru yang serupa dengan Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia dst yang memang secara serius dan fokus meningkatakan kompetensi guru.

Keenam : pemerintah perlu membuat standar tertentu untuk tidak memberikan penghargaan yang sama antara guru berkemampuan rendah, guru berkemampuan baik dan guru berkemampuan tinggi. Pemerintah harus memberikan TPG berbeda pada setiap tingkat profesionalisme guru. Pemerintah cukup konsen pada assement guru pada berbagai aspek dan tidak perlu sibuk melatih guru, berikan tanggungjawab melatih guru pada organisasi guru dan tentunya bukan dengan iming-iming APBD dan APBN seperti Block Grant.

Baca juga:  Gerakan Menanam Pohon, Rahman Bando: Jajaran Dinas Pendidikan Idealnya Berwawasan Adiwiyata

Ketujuh : pemerintah perlu melakukan revitalisasi terhadap LPMP dan P4TK agar kedua lembaga ini tidak sibuk dengan upaya peningkatan kompetensi tetapi cukup pada assesment yang sekaligus menjadi cermin buat guru di seluruh Indonesia. Hasil Assement ini menjadi bekal buat guru untuk meningkatkan kompetensinya yang kurang pada semua aspek. Serahkan upaya peningkatan kompetensi guru ke organisasi guru tanpa harus dengan iming-iming block grant.

Jika kemudian pemerintah berpikir untuk menurunkan standar kelulusan UKG, buat saya itu kemunduran pemerintah. Seharusnya yang perlu dibuat adalah TPG menyesuaikan dengan hasil UKG tapi bukan UKG seperti saat ini yang hanya mengukur kompetensi profesional dan kompetensi paedagogik itupun hanya ujian tertulis berbasis komputer.

Nilai assesment sebagai bentuk lain dari UKG sebaiknya menjadi standar nilai dan besaran tunjangan profesi guru sehingga guru berkemampuan tinggi tidak mendapatkan pendapatan yang sama saja dengan guru berkemampuan rendah.

Apakah selama ini Guru Pembelajar gagal atau sukses?
Faktanya di lapangan, masih ada guru yang sudah lulus modul 1 tapi dilatih modul 1 dan masih begitu banyak kekurangan karena sifatnya program, bukan gerakan.
Rasa tanggunjawab ini pula yang melahirkan perseteruan Pemda Sulsel bersama Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel dengan Kemendikbud dan terjadilah saling “pasang tanduk”.

Pemda mengancam guru dan menteri, menteri memblokir yang bisa diblokir dan ujungnya GURU DAN SISWA yang jadi korbannya.

Seorang kawan guru menelpon saya sambil menangis, berjuang berbulan-bulan tapi dicoret dari daftar guru yang akan diberangkatkan ke Australia hanya karena dia berasal dari Sulsel.

Saya tak bisa menyalahkan pemprov 100%, demikian pula saya tak bisa membenarkan kemendikbud 100%. Apakah kedua belah pihak akan konsisten dengan pandangannya??

So…mari kita tunggu episode selanjutnya.

 
Makassar, 11 Feberuari 2017
Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia