Opini

CIUM TANGAN DALAM POLITIK, SALAHKAH?

×

CIUM TANGAN DALAM POLITIK, SALAHKAH?

Sebarkan artikel ini

oleh : Saifuddin Al Mughniy

Dalam beberapa waktu yang lalu, media telah menggiring kita dalam sebuah suasana yang “getir”, betapa tidak, kemasan issu telah mempropaganda pikiran kita tentang berbagai makna dalam kehidupan sosial kita termasuk politik. Cium tangan misalnya bukanlah sekedar yang nampak dilayar kaca, pemberitaan media, tetapi cium tangan adalah sub kultur dalam masyarakat.

Di dunia barat, ketika seseorang berjumpa apalah ia kawan lama atau baru berkawan, kebiasaan mereka cium pipi kiri dan kanan, orang Indonesia menyebutnya cipika cipiki sekalipun makna dan lakonnya sama. Orang Arab ketika berjumpa memberi salam satu sama lain sambil berpelukan petanda hubungan silaturrahim.

Kebudayaan Indonesia tentu berbeda, cium tangan bagi seseorang adalah satu bentuk penghargaan kepada orang yang lebih tua. Contoh seorang anak cium tangan kepada orang tuanya, seorang santri kepada kiyainya, anak murid kepada gurunya. Apakah cium tangan dalam fenomena politik itu salah ? kita tak sedang membawa pikiran kita pada kekeliruan yang terkonstruktif.

Baca juga:  Polarisasi Narasi Keagamaan, Diskusi Virtual FKDM Sulbar 'Ekstrimisme dan Terorisme di Dumay'

Cium tangan bukanlah sesuatu yang salah, Jokowi cium tangan ke Megawati soekarnoputeri apakah itu salah ? Ahok yang cium tangan ke Megawati juga sesuatu yang salah? ketika Puan Maharani cium tangan ke Megawati sesuatu yang salah ? ketika Prof. Nurdin Abdullah calon Gubernur sulsel di pilgub 2018 mendatang juga yang cium tangan kepada Megawati menjadi sesuatu.yang salah ? ketika fenomena itu kita tarik dalam perspektif politik maka berkecendrungan nalar bisa menjadi liar dan yang muncul adalah subyektivitas. Tetapi kalau ditarik dalam ruang dan perspektif kebudayaan dan agama tentu tidaklah salah, sebab cium tangan adalah bagian dari pranata sosial.

Karenanya, politik setidaknya tidak membawa lakon subyektivitas lalu memarginalkan obyektivitas. Lakon budaya sejatinya dirawat, dipelihara guna membangun esensi politik yang penuh keadaban, sebab cium tangan adalah bertanda penghormatan, penghargaan terhadap orang lain bukan “penghambaan” sebagaimana yang ditafsirkan karena kepentingan politik dan kekuasaan.

Baca juga:  Gubernur dan Wagub Sulsel Rebutan "Panggung Kosong"

Demokrasi dalam narasinya selalu mengimpikan hadirnya sendi-sendi kerakyatan yang baik dan ideal. Karena itu, budaya sedapat mungkin menjadi bagian terpenting dari bangunan kultur dan subkultur dalam arena kontekstasi politik. Bukan lalu menjelma menjadi hasutan, kebencian, bagi siapa saja yang mengisi ruang berdemokrasi.

Cium tangan tentu bukanlah sesuatu.yang haram bukan dalam perspektif politik. Tak perlu risau karena dengan cium tangan, sebab demokrasi dibangun bukan sekedar “cium tangan” tapi demokrasi dibangun dari kultur sipakatau (memanusiakan), sipakainga (saling mengingatkan), sipakalabbi (menghargai kelebihan masing-masing), sipatokkong (saling mengangkat), dan ini semua berakar dan lahir dari kearifan lokal. Begitu indahnya politik, bukan ?.

 

sungai cerekang, 15 oktober 2017

 

 

 

Example 300250